Pages

2019/02/20

Sistem Tanam Paksa (1830-1870)

11pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Pada masa kepemimpinan Johanes van den Bosch Belanda
Johanes van den Bosch
memperkenalkan cultuurstelsel atau cultivation system (tanam paksa). Sistem tanam paksa pertama kali diperkenalkan di Jawa dan dikembangkan di daerah-daerah lain di luar Jawa. Tujuan Sistem Tanam Paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas Belanda yang pada saat itu terkuras habis akibat perang


Aturan sistem tanam paksa

Setiap penduduk wajib menyerahkan seperlima dari lahangarapannya untuk ditanami tanaman wajib yang berkualitas ekspor.

Tanah yang disediakan untuk tanah wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
Hasil panen tanaman wajib harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat.
Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi atau kurang lebih 3 bulan.
Mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari atau seperlima tahun di perkebunan pemerintah.
Jika terjadi kerusakan atau kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah (jika bukan akibat kesalahan petani).
Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa.
Pelaksanaan tanam paksa

Dalam kenyataannya, pelaksanaan cultuurstelsel banyak terjadi penyimpangan, karena berorientasi pada kepentingan imperialis, di antaranya:

Jatah tanah untuk tanaman ekspor melebihi seperlima tanah garapan, apalagi tanahnya subur.
Rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman ekspor, sehingga banyak tidak sempat mengerjakan sawah dan ladang sendiri.
Rakyat tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi 1/5 tahun
Waktu pelaksanaan tanaman ternyata melebihi waktu tanam padi (tiga bulan) sebab tanaman-tanaman perkebunan memerlukan perawatan yang terus-menerus.
Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat ternyata tidak dikembalikan kepada rakyat.
Kegagalan panen tanaman wajib menjadi tanggung jawab rakyat/petani.
Dampak tanam paksa

Bagi Belanda tanam paksa membawa keuntungan melimpah, di antaranya: (a) Kas Belanda menjadi surplus (berlebihan). Dan (b) Belanda bebas dari kesulitan keuangan.

Dampak tanam paksa bagi Indonesia

Akibat adanya penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan tanam paksa, maka membawa akibat yang memberatkan rakyat Indonesia, yaitu:

Banyak tanah yang terbengkalai, sehingga panen gagal.
Rakyat makin menderita.
Wabah penyakit merajalela.
Bahaya kelaparan yang melanda Cirebon memaksa rakyat mengungsi ke daerah lain untuk menyelamatkan diri.
Kelaparan hebat di Grobogan, sehingga banyak yang mengalami kematian dan menyebabkan jumlah penduduk menurun tajam.
Penentangan tanam paksa

Tanam paksa yang diterapkan Belanda di Indonesia ternyata mengakibatkan aksi penentangan. Orang yang menentang tanam paksa terdiri dari:

1) Golongan pendeta

Golongan ini menentang atas dasar kemanusiaan. Adapun tokoh yang mempelopori penentangan ini adalah Baron Van Hovel.

2) Golongan liberal

Golongan liberal terdiri dari pengusaha dan pedagang, di antaranya:

a) Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli yang menentang tanam paksa dengan mengarang buku berjudul Max Havelaar.
b) Frans Van de Pute dengan mengarang buku berjudul Suiker Constracten (Kontrak Kerja).
Penghapusan pelaksanaan tanam paksa secara bertahap
Di Sumatra Barat, sistem tanam paksa dimulai sejak tahun1847, ketika penduduk yang telah lama menanam kopi secara bebas dipaksa untuk menanam kopi untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial. Begitu juga di Jawa, pelaksanaan sistem tanam paksa ini dilakukan melalui jaringan birokrasi lokal. Berkat adanya kecaman dari berbagai pihak, akhirnya pemerintah Belanda menghapus tanam paksa secara bertahap:

1) Tahun 1860 tanam paksa lada dihapus.

2) Tahun 1865 tanam paksa nila dan teh dihapus.

3) Tahun 1870 tanam paksa semua jenis tanaman, dihapus kecuali kopi di Priangan.

Selain di Pulau Jawa, kebijaksanaan yang hampir sama juga dilaksanakan di tempat lain seperti Sumatra Barat, Minahasa, Lampung, dan Palembang. Kopi merupakan tanaman utama di dua tempat pertama. Adapun lada merupakan tanaman utama di dua wilayah yang kedua. Di Minahasa, kebijakan yang sama kemudian juga berlaku pada tanaman kelapa.

No comments:

Post a Comment