Pasca Indonesia merdeka di tahun 1945,
tidak serta merta kehidupan bangsa Indonesia menjadi baik. Pemerintahan baru
tersebut dihadapkan pada banyak persoalan yang ada di Indonesia sejak masa
kolonial, baik itu bidang sosial, politik dan ekonomi. Sikap pemerintah yang
dianggap “lemah” terhadap tekanan Belanda dan sekutunya di awal kemerdekaan ini
memengaruhi kondisi politik ketika itu. Muncul kelompok-kelompok yang ingin
melepaskan diri dari NKRI. Konflik-konflik di dalam negeri ini menambah beban
pemerintah yang di masa tersebut masih memperjuangkan kedaulatan republik ini
dihadapan dunia internasional. Dalam kurun waktu antara 1948 hingga 1965,
gerakan-gerakan separatisme terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa
memang bukan persoalan main-main. Bukan hanya merupakan masalah di masa lalu.
Potensi disintegrasi pada masa kinipun bukan tidak mungkin terjadi. Karena
itulah kita harus terus dan selalu memahami betapa berbahayanya proses
disintegrasi bangsa bila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah
menunjukkan hal tersebut.
Para sejarawan membagi peristiwa-peristiwa
tersebut atas tiga macam yakni;
a. Konflik yang berkaitan
dengan ideologi
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI
Madiun, pemberontakan DI/TII dan peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh
PKI tentu saja komunisme, sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung dengan
membawa ideologi agama. Perlu kalian ketahui bahwa menurut Herbert Feith,
seorang akademisi Australia, aliran politik besar yang terdapat di Indonesia
pada masa setelah kemerdekaan (terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955)
terbagi dalam lima kelompok : nasionalisme radikal (diwakili antara lain
oleh PNI), Islam (NU dan Masyumi), komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai
Sosialis Indonesia/kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada masa
itu kelompokkelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung
ideologi masing-masing.
b. Konflik yang berkaitan
dengan kepentingan (vested interest)
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA,
RMS dan Andi Aziz. Vested Interest
merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok
ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk
keuntungan sendiri. Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya
sehingga sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS dan
peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau
Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan
tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam
situasi seperti ini, konflik pun terjadi.
c. Konflik yang berkaitan
dengan sistem pemerintahan
Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara
federal dan BFO (Bijeenkomst Federal
Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta. Masalah yang berhubungan
dengan negara federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggajati,
Indonesia disepakati akan berbentuk negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS). RI menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya
adalah negara Pasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur.
BFO sendiri adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama badan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan. Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.
BFO sendiri adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama badan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan. Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.
1. Konflik yang berkaitan
dengan ideologi
a. Pemberontakan PKI (Partai
Komunis Indonesia) Madiun 1948
Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan
partai politik pertama yang didirikan sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI
bukanlah partai baru, karena telah ada sejak jaman pergerakan nasional sebelum
dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat memberontak pada tahun 1926.
Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah,
yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi
partai oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada bulan
Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia membawa
PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal 18
September 1948.
Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, dimana mereka memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian kekuatan-kekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka.
Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, dimana mereka memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian kekuatan-kekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka.
Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
mengecam pemerintah dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan
Belanda yang ditengahi Amerika Serikat (AS).
Pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada
Uni Sovyet yang komunis. Padahal saat itu AS dan Uni Sovyet tengah mengalami
Perang Dingin. Pemerintah Indonesia
telah melakukan upaya-upaya
diplomasi dengan Muso, bahkan sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang
lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak ofensif PKI Muso. Namun kondisi
politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan September 1948, pertempuran antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang
memihak PKI dengan TNI mulai meletus.
PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso pun
kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet
Indonesia.
Presiden Soekarno segera bereaksi, dan berpidato di RRI
Yogjakarta :
“…Saudara-saudara ! camkan benar
apa artinja itu : Negara Republik Indonesia jang kita tjintai, hendak direbut
oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup, mengadakan perampasan
kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan Sovyet, di bawah
pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut
seluruh Pemerintahan Republik Indonesia. …Saudara-saudara, camkanlah
benar-benar apa artinja jang telah terdjadi itu. Negara Republik Indonesia
hendak direbut oleh PKI Muso! Rakjat jang kutjinta! Atas nama perdjuangan untuk
Indonesia Merdeka, aku
berseru kepadamu : “Pada saat jang
begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan jang
sebesar-besarnja dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu adalah pilihan
antara dua: ikut Muso dengan PKInja jang akan membawa bangkrutnja cita-cita
Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, jang Insya Allah dengan bantuan
Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia jang merdeka, tidak didjadjah
oleh negeri apa pun djuga.…Buruh jang djudjur, tani jang djudjur, pemuda jang
djudjur, rakyat jang djudjur,djanganlah memberikan bantuan kepada kaum
pengatjau itu. Djangan tertarik siulan mereka ! …Dengarlah, betapa djahatnja
rentjana mereka itu! (Daud Sinyal, 1996).
Di awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah
dan para pemimpin partai yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi
korban. Tetapi pasukan pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil
mendesak mundur pemberontak. Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir
Syarifuddin juga tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh
muda PKI seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak
di tahun 1965, berhasil menjadikan PKI kembali menjadi partai besar di
Indonesia sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang
tewas dan ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal
mengambil alih kekuasaan. Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari peristiwa
pemberontakan PKI di Madiun ini bagi sejarah Indonesia kemudian?
Pertama, upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih
profesional menguat sejak pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan
bersenjata “liar” berhasil didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan
diplomasi, simpati Belanda perlahan berubah menjadi dukungan terhadap
Indonesia, meskipun hal ini tidak juga bisa dilepaskan dari strategi global AS
dalam menghadapi ancaman komunisme.
Tetapi hal terpenting lain juga perlu dicatat, bahwasanya
konflik yang terjadi berdampak pula pada banyaknya korban yang timbul.
Ketidakbersatuan bangsa Indonesia yang tampak dalam peristiwa ini juga dimanfaatkan
oleh Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk kemudian melancarkan agresi militernya
yang kedua pada Desember 1948.
b. Pemberontakan DI/TII
Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa
wilayah Indonesia bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M.
Kartosuwiryo. Ia dulu adalah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII). Adalah perjanjian Renville yang membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk
lebih mendekatkan cita-cita lamanya untuk mendirikan negara Islam. Salah satu
keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari daerahdaerah yang diklaim
dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Jawa Barat, Divisi
Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa
Barat dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar
bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh
Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII).
Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera
dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya ia memimpin perjuangan melawan Belanda
dalam rangka menunjang perjuangan RI, namun akhirnya perjuangan tersebut
beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Ia lalu
menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di
Jawa Barat pada Agustus 1948. Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali
balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut
kecuali mereka mau bergabung dengan DI/TII. Ini sama saja Kartosuwiryo dengan
DI/TII nya tidak mau mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Maka pemerintahpun
bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya
terlihat belum dilakukan secara terarah, namun sejak tahun 1959, pemerintah
mulai melakukan operasi militer.
Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Tujuan taktik ini adalah untuk mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu diadakan pula operasi tempur dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui operasi ini pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman mati, yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Di Jawa Tengah, awal kasusnya juga mirip, dimana akibat persetujuan Renville daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional
Indonesia) dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di
wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan
segera mengambil alih. Saat pasukan TNI kemudian balik kembali ke wilayah
tersebut setelah Belanda melakukan agresi militernya yang kedua, sebenarnya
telah terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan pasukannya dengan pasukan TNI.
Amir Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan
di daerah operasi Tegal dan Brebes. Namun ketegangan karena berbagai persoalan
antara pasukan Amir Fatah dengan TNI sering timbul kembali. Amir Fatah pun
semakin berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya lalu
mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut
memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah. Sejak itu terjadi
kekacauan dan konflik terbuka antara pasukan Amir Fatah dengan pasukan TNI.
Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan
Amir Fatah tidak terlalu lama. Kurangnya dukungan dari penduduk membuat
perlawanannya cepat berakhir. Desember 1951, ia menyerah.
Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu membahu dengan tentara republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah. Namun kerjasama antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak melakukan demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai Sumolangu. Pada akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan pemberontakan.
Sesudah sebulan bertempur, tentara RI berhasil menumpas pemberontakan ini. Ratusan pemberontak dinyatakan tewas dan sebagianbesar berhasil ditawan. Sebagian lainnya melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga mengalami kerusakan berat.
Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga
dilakukan oleh Batalyon 426 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah
tentara Indonesia yang anggota-anggotanya berasal dari laskar Hizbullah.
Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak karena
DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan Batalyon
426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus, Klaten hingga Surakarta.Walaupun
dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya dalam beberapa bulan saja,
pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas.
Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan
DI/TII terjadi pula di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar
Muzakkar.
Pada tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo. Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi.
Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan. Namun anggota KGSS menolaknya. Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan minta agar seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi.
Kahar Muzakkar tidak menerima kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya. Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo. Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk menumpasnya. Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.
Pada tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo. Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi.
Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan. Namun anggota KGSS menolaknya. Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan minta agar seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi.
Kahar Muzakkar tidak menerima kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya. Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo. Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk menumpasnya. Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.
Pemberontakan yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Namun dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini adalah pemberontakan yang relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan yang besar. Meski begitu, pemberontakan berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963 saat Ibnu Hajar, pemimpinnya, tertangkap.
Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa ditelusuri hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika penataan ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantara mereka ada yang harus didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Suasana mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk memberontak. Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu Hajar. Dikenal sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun pecah.
Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung
dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan
dalam pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII Kalimantan. Konflik dengan tentara
Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963, Ibnu
Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer
menjatuhinya hukuman mati. Daerah pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh.
Ada sebab dan akhir yang berbeda antara pemberontakan di daerah ini dengan
daerah-daerah DI/TII lainnya.
Di Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah
ketika pada tahun 1950 pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari
propinsi Sumatera Utara. Para ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai
masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik. Mereka menuntut agar Aceh
memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila tuntutan mereka tak
dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh.
Pemerintah pusat kemudian berupaya menempuh jalan
pertemuan. Wakil Presiden M. Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951),
bahkan Soekarno (1953?) menyempatkan diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan
ini, namun mengalami kegagalan. Akhirnya pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh melakukan
kontak dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam
Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo.
Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara RI
pun berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun, sebelum akhirnya
pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa pada tahun
1959. Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah
selesai. Ia mendapat pengampunan.
c. Gerakan 30 September 1965
(G30S/PKI)
Inilah peristiwa yang hingga kini masih menyimpan
kontroversi. Utamanya adalah yang berhubungan dengan pertanyaan “Siapa dalang
Gerakan 30 September 1965 sebenarnya?” Setidaknya terdapat enam teori mengenai
peristiwa kudeta G30S tahun 1965 ini :
1)
Gerakan 30 September merupakan
persoalan internal Angkatan Darat (AD).
Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim,
dan Coen Hotsapel, teori ini menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul
akibat adanya persoalan di kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan
pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan
bahwa para pemimpin AD hidup bermewahmewahan dan memperkaya diri sehingga
mencemarkan nama baik AD. Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan
kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata
ini justru hidupnya sederhana.
2)
Dalang Gerakan 30 September
adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Teori ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale
Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia
jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya
menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu
kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta.
Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah
menjatuhkan kekuasaan Soekarno.
3)
Gerakan 30 September merupakan
pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.
Menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan
Inggris yang ingin sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri
melalui penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas
dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi
menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori
dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain.
4)
Soekarno adalah dalang Gerakan
30 September.
Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan
John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan
oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena
PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain
berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi
sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada
30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta
sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup
lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa
besar” esok harinya.
Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan
Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965,
dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.
5)
Tidak ada pemeran tunggal dan
skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30 September (teori chaos).
Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini
menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam
G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut
Soekarno : “unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger
serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di
lapangan.
6)
Dalang Gerakan 30 September
adalah PKI
Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab
peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian
kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar
lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang
dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar
Selatan, Grobogan, dan Klaten. Teori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho
Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar
mengenai kudeta tanggal 30 September 1965.
Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu : AD dengan PKI.
Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu : AD dengan PKI.
Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman
terhadap kabinet dan tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun
tangan hingga persoalan ini sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat hubungan
Soekarno dengan PKI kian dekat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010 ).
Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia
(PSI) yang merupakan partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin
giat melakukan mobilisasi massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak
anggota. Partai-partai lain seperti NU dan PNI hingga saat itu praktis telah
dilumpuhkan (Feith, 1998).
Tahun 1963, situasi persaingan semakin sengit, baik di
kota maupun di desa. PKI berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang
lebih besar. Oleh karena itu, strategi ofensif yang dipilih untuk memenuhi harapannya.
Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk duduk dalam kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya
sudah
cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya partai ini
umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya para menteri
yang memiliki pandangan politik berbeda dengan mereka.
Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti
PKI memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi
politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro
PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu. Tidak
sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah.
Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambilalih tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa. “Setan Desa”menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011).
Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambilalih tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa. “Setan Desa”menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011).
Adegan-adegan protespun berlangsung bahkan radikalisme
dipraktikkan hingga upaya menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para
sesepuh desa. Dalam aksi pengambilalihan tanah --terutama di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera Utara-- massa PKI-pun terlibat dalam
pertentangan yang sengit dengan, tentu saja, para tuan tanah, juga kaum
birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara.
Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari
kalangan muslim yang taat dan pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya
menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan muka dengan
para santri NU. Di kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini
misalnya tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo,
yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul
besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang becak di tengah terik
matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak. Adegan
serupa pernah juga terjadi di berbagai kota. Ada pula para kepala desa yang
sudah tua disidangkan di depan pengadilan rakyat (Ong Hok Ham,1999).
Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak
semakin lama semakin kuat. Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa
Timur tindak balasan anti PKI dipelopori oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor. Hubungan
angkatan darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas. Sindiran dan
kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap AD.
Pada bulan-bulan awal tahun 1965 PKI “menyerang” para
pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagai kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi
juga dilakukan untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka
hingga pertengahan tahun 1965 atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober,
kekuatan politik di ibukota tampaknya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian
berada di atas angin dengan perjuangan partai yang semakin intensif.
Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AUAL-Polisi yang
dikemukakan oleh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana
terutama dalam hubungan antara PKI dan AD. Tentara telah membayangkan bagaimana
21 juta petani dan buruh bersenjata, bebas dari pengawasan mereka.
Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa berarti pengukuhan
aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan
pemerintahan komunis yang pro RRC (Republik Rakyat Cina yang komunis) di
Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini akhirnya memang gagal direalisasikan.
PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah
mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen Gilchrist” yang
ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai
isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our
local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk
melakukan kudeta.
Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan danJenderal
Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden Soekarno
bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan angkatan darat kini tampaknya
telah mencapai level yang akut. Bulan itu juga, Pelda Sujono yang berusaha
menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari
BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera
menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap
tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan dan
Katolik.
Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa
tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed., 2012: 139). Sebuah tindakan
yang tentu saja semakin membuat marah kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya
telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau peserta
mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh
tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al Quran.
Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan
lain non PKI pun telah sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965.
Apalagi pada bulan Juli sebelumnya
Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk
memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan
meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September
1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak. Dipimpin Letnan Kolonel
Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan
“Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira
di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke
dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal
Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto,
Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal
Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution
berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi
korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan
terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel
Sugiono.
Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu
menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat.
Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat
(Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu
belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih
setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera
dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di
daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan
September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung
PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga
dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI
pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis
Indonesia.
2. Konflik dan Pergolakan
yang Berkait dengan Kepentingan.
a. Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten
Raymond Westerling pada tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang
anggotanya terutama berasal dari tentara Belanda: KNIL, yang tidak setuju
dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa
Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis pasukan
APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara Pasundan
dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di
Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum pemerintah
RIS. Ultimatum ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan
penangkapan terhadap Westerling.
APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara
mendadak dan melakukan tindakan teror. Puluhan anggota APRIS gugur. Diketahui pula kemudian kalau APRA bermaksud menyerang Jakarta dan
ingin membunuh antara lain Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan
Kepala APRIS Kolonel T.B. Simatupang. Namun semua itu akhirnya dapat digagalkan
oleh pemerintah. Westerling kemudian melarikan diri ke Belanda.
b. Peristiwa Andi Aziz
Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa
Andi Aziz berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal
dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya
mereka yang dijadikan pasukan APRIS di Negara Indonesia Timur (NIT). Ketika
akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke Sulawesi Selatan dengan
tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di kalangan pasukan
Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka akan
diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI.
Pasukan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz ini kemudian
bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting, bahkan menawan Panglima Teritorium
(wilayah) Indonesia Timur, Pemerintahpun
bertindak tegas dengan mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang.
April 1950, pemerintah memerintahkan Andi Aziz agar
melapor ke Jakarta akibat peristiwa tersebut, dan menarik pasukannya dari
tempat-tempat yang telah diduduki, menyerahkan senjata serta membebaskan
tawanan yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu melapor adalah 4 x 24 jam. Namun
Andi Aziz ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya telah berontak. Andi
Aziz pun segera ditangkap di Jakarta setibanya ia ke sana dari Makasar. Ia juga
kemudian mengakui bahwa aksi yang dilakukannya berawal dari rasa tidak puas
terhadap APRIS. Pasukannya yang memberontak akhirnya berhasil ditumpas oleh
tentara Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
c. Pemberontakan Republik
Maluku Selatan (RMS)
Sesuai dengan namanya, pemberontakan RMS dilakukan
dengan tujuan memisahkan diri dari Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara
sendiri. Diproklamasikan oleh mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr.
Ch.R.S. Soumokil pada April 1950, RMS didukung oleh mantan pasukan KNIL.
Upaya penyelesaian secara damai awalnya dilakukan oleh
pemerintah Indonesia, yang mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun upaya ini
mengalami kegagalan. Pemerintahpun langsung mengambil tindakan tegas, dengan
melakukan operasi militer di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
Kelebihan pasukan KNIL RMS adalah mereka memiliki kualifikasi
sebagai pasukan komando. Konsentrasi kekuatan mereka berada di pulau
Ambon dengan medan perbentengan alam yang kokoh. Bekas
benteng pertahanan Jepang juga dimanfaatkan oleh pasukan RMS. Oleh karena medan
yang berat ini, selama peristiwa perebutan pulau Ambon oleh TNI, terjadi
pertempuran frontal dan dahsyat dengan saling bertahan dan menyerang. Meski
kota Ambon sebagai ibukota RMS berhasil direbut dan pemberontakan ini akhirnya
ditumpas, namun TNI kehilangan komandan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Letnan
Kolonel Soediarto yang gugur tertembak. Soumokil sendiri awalnya berhasil
melarikan diri ke pulau Seram, namun ia akhirnya ditangkap tahun 1963 dan
dijatuhi hukuman mati.
3. Konflik dan Pergolakan
yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan.
a. Pemberontakan PRRI dan
Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari
adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi.
Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah.
Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah
terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana
pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan
daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957,
seperti :
1)
Dewan Banteng di Sumatra Barat
yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2)
Dewan Gajah di Sumatra Utara
yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
3)
Dewan Garuda di Sumatra Selatan
yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
4)
Dewan Manguni di Sulawesi Utara
yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan
pemerintah daerah di wilayahnya masing-masing. Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung mereka bahkan bergabung ke dalamnya,
seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD
Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan
jalan musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat,
menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya
kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya
memuncak ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan
berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang,
Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti
pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin
Prawiranegara.
Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya
untuk menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat.
Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai
Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata
disambut dengan antusias pula oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi
Utara.
Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Juanda). Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Juanda). Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
b. Persoalan Negara Federal
dan BFO
Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian
(BFO/Bijeenkomst Federal Overleg) mau
tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah
kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis
yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin
Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan
pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang
diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat
reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari
Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu
Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga
menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga
secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan.
Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama
dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide
Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana
(Negara
Pasundan).
Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.).
Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.).
Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana
telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini. Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan,
pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini
terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan
setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara-negara
bagian tersebut bergabung ke RI.
No comments:
Post a Comment