2019/03/04

Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945)


Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi itu merupakan dampak dari pendudukkan Jepang yang sangat menekan dan sangat memeras.

Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lebih lama. Kesan seperti itu wajar sekali, terutama karena didasari dari sudut pandang yang merugikan saja. Selain segi-segi merugikan yang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang, segi-segi yang menguntungkanpun ada dan dirasakan pula oleh bangsa Indonesia menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan; terutama yang menyangkut perkembangan gerakan nasionalisme Indonesia.

Terdapat pula hal-hal yang menguntungkan bangsa Indonesia, sehingga pemahaman dan penyebaran tentang konsep kebangsaan menjadi lebih luas jangkauannya. Pendudukan Jepang di Indonesia dapat disebut sebagai garis pemisah dalam sejarah Indonesia modern, yaitu sebuah garis yang memecahkan hubungan sosial tradisional pada tingkat lokal serta menyiapkan kondisi bagi terciptanya latar belakang revolusi nasional dan sosial tahun 1945-1949 (Aiko Kurasawa, 1988),. Namun demikian, masa ini sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah masa transisi dari periode penjajahan kolonial Belanda dengan masa kemerdekaan (Frederik, 1989). Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun tersebut merupakan satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia (Ricklefs, 1981). Meskipun masa pendudukan Jepang merupakan suatu pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia, akan tetapi ini merupakan suatu masa peralihan, di mana dalam beberapa hal gerakan nasionalis mendapat kemajuan (Frederick, 1986).

Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian politik imperialism Jepang di Asia Tenggara. Kedatangannya di Indonesia merupakan bagian dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia (Marwati, 1984). Munculnya imperialisme Jepang ini didorong oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang penting ialah keberhasilan Restorasi Meiji di Jepang yang berdampak pada proses modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Modernisasi tersebut berimplikasi pada persoalan-persoalan yang sangat kompleks seperti kepadatan penduduk, lapangan pekerjaan, bahan mentah, dan daerah pemasaran hasil produksinya.

Persoalan kepadatan penduduk dan upaya peningkatan produksi pertanian pangan, pada tahun-tahun awal dari pemerintahan Meiji juga menunjukkan suatu pertumbuhan yang terus-menerus dalam produksi pangan. Dengan penduduk yang tumbuh cepat dan mengalami lonjakan dari 33,1 juta pada tahun 1872 menjadi 41 juta pada tahun 1892, dan menjadi 52,1 juta pada tahun 1912. Maka meningkatnya produksi pangan sangat diperlukan untuk melindungi Jepang dari beras dengan kelaparan yang begitu umum pada negara-negara yang terlambat perkembangannya. Fenomena ini pada hakekatnya merupakan suatu pengukuhan pada tahap perkembangan ekonomi modern (Peter Duus,1976).
Sebagai akibat dari kemajuan industri yang pesat di Jepang, ditempuhlah strategi ekspansi untuk mencari bahan mentah dan daerah pemasaran baru, yang dalam prakteknya juga sebagai sumber bahan pangan. Dalam buku yang berjudul The Rise of Modern Japan, lebih lanjut Peter Duus (1976) menyatakan: bahwa di lain pihak Jepang juga tertarik dalam bidang eksploitasi sumber ekonomi padi dari daerah-daerah yang baru saja dikuasainya untuk mendukung peperangan, bersama-sama dengan minyak, timah, karet, dan barang-barang krusial lainnya.

Imperialisme Jepang didorong pula oleh filsafat Hakko Ichiu, yaitu ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia. Jepang sebagai negara yang telah maju, mempunyai kewajiban untuk "mempersatukan bangsa-bangsa di dunia dan memajukannya" (Moedjanto, 1992). Ajaran tersebut merupakan dorongan psikologis sekaligus sebagai legitimasi moral politik atas tindakan ekspansionisme Jepang ke wilayah-wilayah lain. Ajaran hakko Ichiu bagi Jepang bahkan merupakan motivasi "ideologis" (Nugroho Notosusanto, 1979). Itulah sebabnya Jepang dalam imperialisme itu melakukan langkah-langkah kongkrit suatu upaya "pembentukan lingkungan kemakmuran bersama" di kawasan Asia Timur Raya. 

Setelah dicapai tahap pembentukan lingkungan di kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina dan Manchukuo sebagai tulang punggungnya, kemudian Jepang menempuh langkah politik global yang dikombinasi dengan kekuatan militer yang mencakup negara-negara yang berjauhan seperti Srilangka, Selandia Baru, seluruh Oceania (termasuk Hawai) dan negara-negara kecil di Amerika Tengah. Menguatnya ambisi militerisme Jepang disamping itu didorong juga oleh konstalasi politik di Jepang sendiri, yaitu adanya kerjasama antara antara kaum kapitalis (Zeibatsu) dengan kaum militer (Gunbatsu). Kerjasama itu terjadi dan
semakin kuat ketika pertimbangan minyak dianggap sebagai faktor penting dalam kerangka invasinya di Indonesia (Koen, 1962). 

Dalam kerangka politik makro, imperialisme Jepang memiliki hubungan erat dengan "dokumen Tanaka", yaitu
dokumen tentang rencana ekspansionisme Jepang. Dengan demikian, invasi Jepang ke Indonesia merupakan bagian dari kerangka politik ekspansionisme jepang di asia
Tenggara. Cita-cita Jepang untuk membangun Kawasan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah naungannya, dicoba direalisasikan dengan mencetuskan Perang Asia Timur Raya yang picunya dimulai dengan penyerangan mendadaknya atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada hari Minggu tanggal 7 Desember 1941

Tahun 1942, Jepang melakukan penaklukan terhadap Asia Tenggara. Memasuki Nusantara, Jepang memberikan bantuan kepada penduduk, yaitu faksi Sumatera untuk melakukan revolusi dan serangan kepada pemerintah kolonial Belanda. Belanda yang sebelumnya sudah diduduki oleh Nazi Jerman pada awal Perang Dunia II, akhirnya kalah dan memutuskan untuk menyerah. Dengan demikian, pada tahun inilah Jepang mulai melakukan penjajahan di Indonesia. Tiga setengah tahun berikutnya, penjajahan Jepang berakhir, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu hari dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas: pertama, menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan kedua, memobilisasikan rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk itu, suatu kampanye propaganda
yang intensif dimulai untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur melawan Barat.
Jepang tanpa banyak menemui perlawanan berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa  Indonesia menyambut kedatangan bala tentara Jepang dengan perasaan senang dan gembira karena berpikir Jepang telah membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan kolonial Belanda.

Sikap masyarakat pedesaan Jawa juga dipengaruhi oleh ramalan Jayabaya, yang secara tidak langsung telah mengarahkan pandangan masyarakat untuk menyambut
kedatangan "wong kuntet kuning saka lor" yang hanya akan berkuasa di Indonesia "seumur jagung". Kata-kata ini dipahami sebagai suatu keadaan baru akibat perginya Belanda dan datangnya Jepang, dan Jepang akan memerintah dalam waktu yang tidak lama, sesudah itu bangsa Indonesia akan "merdeka". Pemahaman yang berkembang seperti ini telah memberikan harapan akan hari kemudian yang lebih baik. Sartono K. (1985) menyebutnya sebagai motivasi spekulatif teoritis masyarakat Jawa terhadap datangnya masa kebahagiaan.

Sejak 9 Maret 1942 Jepang menguasai seluruh wailayah Hindia Belanda. Dengan segala cara, Jepang menguras kekayaan dan tenaga rakyat itu dengan kekerasan, dengan rayuan, dan sebagainya. Rakyat Indonesia yang sudah jemu terhadap perang dan penjajahan menyambut kedatangan Jepang itu dengan harapan Jepang akan memberikan kedamaian dan kemakmuran. Jepang datang dianggapnya sebagai pembebas penderitaan bangsa Indonesia. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Jepang dengan sebaik-baiknya. 

Propaganda Jepang segera dilancarkan dan kekuasaan Fascisme Jepang segera ditanamkan dalam menyusun pemerintahan di Indonesia.
a. Tentara Ke-16 di pulau Jawa dan Madura dengan pusatnya di Jakarta.
b. Tentara Ke-25 dipulau Sumatera dengan pusatnya di Bukittinggi.
c. Armada Selatan Ke-2 di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat dengan pusatnya di Makasar.

Pemerintahan militer Jepang disebut Gunseibu. Di Jawa Barat berpusat di Bandung; Di Jawa Tengah berpusat di Semarang; dan Jawa Timur berpusat di Surabaya. Daerah Surakarta dan Yogyakata dijadikan daerah Istimewa (Koci). Para pejabatnya disamping orang Jepang, juga dibantu oleh orang-orang Indonesia. Misalnya di Jawa Barat Mendampingi Gubernur Kolonel Matsui didampingi oleh R. Pandu Suradiningrat. Sebagai wakil Gubernur dia dibantu oleh Atik Suardi. Di Jakarta, H. Dahlan Abdulah untuk sementara diangkat sebagai kepala Pemerintahan daerah. Jabatan polisi diserahkan kepada Mas Sutandoko. Di Jawa Tengah, Gupernur dijabat oleh Letnen kolonel Taga. Pendamaianya Rd. Muhammad Chalil, sebagai wakil Gubernur, dan Salaman menjadi sebagai Residen. 

Selanjutnya sejak 1 April 1942 Dikeluarkan peraturan Kepegawaian. Disamping itu usaha Men-Jepang-kan Indonesia mulai dilaksanakan diseberluaskan kepada penduduk. Cara yang paling Awal untuk men-jepang-kan itu ada memasang bendera Hinomaru pada hari-hari besar Jepang, dan menyayikan lagu Kebangsaan Jepang Kimigayo pada setiap upacara negara. Di samping bangsa Jepang mulai diajarkan disekolah-sekolah. Begitu tarikh Sumera dari Jepang digunakan dalam sistem penanggalan di Indonesia. Hari lahirnya Kaisar Hirohito harus dirayakan setiap tahun (Hari Raya Tencosetu). Untuk alat pembayaran, mata uang Hindia Belanda yang digunakan. 

Dalam aspek politik pemerintahan, berdasarkan berita pemerintah nomor 14 bulan Maret 1943, dibentuk 8 bagian pada pemerintah pusat dan memberikan tanggungjawab pengelolaan ekonomi pada syu. Pemerintah daerah pada masa pendudukan Jepang diaktifkan kembali untuk memperkuat dukungan terhadap kebutuhan ekonomi perang. Karesidenan (syu), berdasarkan Undang-undang nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan 

Pemerintahan Karesidenan (Syu) dan Tokobetsu Si secara prinsip telah mengarahkan pada pengaturan ekonomi. Swasembada penuh dalam bidang ekonomi dengan demikian telah dipaksakan secara halus pada setiap syu untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Selama itu pula syu telah menjadi pembatasan yang berdaya guna bagi Jepang dalam mengekang perkembangan berbagai organisasi di Indonesia (Anthony Reid, 1985).
Dengan kaum nasionalis diadakan kerjasama dengan tujuan bersatu dan berdiri sepenuhnya dibelakang Jepang, serta memperlancar pekerjaan Gunseibu. Di samping itu Jepang menyuruh kaum nasionalis untuk turut aktif di dalam pemerintahan Gunsei. Di dalam pemerintahan Gunsei ini munculah tokoh Ir. Sukarno.

Dalam pertemuan dengan pihak Jepang di Bukuttinggi, Ir. Sukarno tidak akan dihalang-halangi dalam membina ke Indonesia Merdeka. Pertemuan antara Moh. Hatta dengan Ir. Sukarno mengambil keputusan mengesampingkan perselisihan pahamnya jaman Partidon dan PNI Baru dan bersatu memimpin rakyat Indonesia di dalam masa sulit itu. Persatuan antara keduanya itu kemudian dikenal dengan sebutan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta.
Kerjasama Ir. Sukarno dengan pihak Jepang dimulai dalam suatau Komisi yang menyelidiki Adat Istiadat dan Tata Negara yang dibentuk oleh Gunsei pada 8 November 1942. Komisi beranggotakan 13 orang Jepang serta pimpinan politik dan sosial bangsa Indonesia, seperti: Moh. Hatta, Sutarjo Kartohadikusumo, Abikusno Cokrosuyoso, KH Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantoro, Prof. Husein Joyodiningrat, Dr. RNg, Purbocaroko, Mr. Supomo. Dari anggota tersebut dikenal sebagai Empat serangkai adalah: Ir. Sokarno, Moh.Hatta, KH. Mas Mnsyur dan Ki Hajar Dewantoro.
Empat serangkai itu diberi kepercayaan untuk memimpin gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Putera), yang dibentuk pada 9 Maret 1943. Pembentukan putera itu adalah atas usul Ir. Sukarno. Tujuan Putera ialah mempersatukan rakyat Jawa untuk menghadapi serangan Sekutu yang semakin dekat dengan Indonesia (Jawa). Pembukaan Kantor Putera pada tanggal 26 April 1943. Somuboco (Kepala Departemen Urusan Umum) menegaskan tugas Putera ialah: menggerakan Tenaga dan Kekuatan rakyat untuk memberi bantuan kepada usaha-usaha untuk mencapai kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian Jepang dapat menggunakan para pemimpin Indonesia untuk menanamkan kekuasaannya. Sebaliknya para pemimpin Indonesia juga tidak mau begitu saja diperalat oleh pemerintah Jepang. Mereka mencoba menggunakan sarana dari Jepang itu guna tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Campur tangan pemerintah pendudukan Jepang bukan saja pada lembaga-lembaga politik di pusat dan daerah saja, melainkan pada lembaga tradisional di pedesaan, yang berupa indoktrinasi dan depolitisasi lembaga politik di pedesaan serta penciptaan lembaga-lembaga politik baru yang memudahkan proses pengawasan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia.

Dalam bidang sosial ekonomi, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk kepentingan perang seperti besi, tembaga, kuningan dan sebagainya yang diatur dengan Osamu Seirei nomor 19 tahun 1944 tentang mengatur pembagian tembaga tua dan besi tua (Kan Po No. 41 April 1944).

Sesuai dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membentuk susunan perekonomian baru di Jawa, dilakukan politik penyerahan padi secara paksa oleh pemerintah Jepang terhadap petani-petani di pedesaan Jawa. Dasar-dasar politik beras Jepang pada awalnya adalah sebagai berikut (Kurasawa, 1988):
a. Padi berada dibawah pengawasan negara, dan hanya pemerintah yang diijinkan
melakukan seluruh proses pungutan dan penyeluran padi.
b. Para petani harus menjual hasil produksi mereka kepada pemerintah sebanyak
kuota yang ditentukan dengan harga yang ditetapkan.
c. Harga gabah dan beras ditetapkan oleh pemerintah.

Sebagai bagian dari politik terhadap pemanfaatan sumber daya manusia, pemerintah pendudukan Jepang melakukan mobilisasi massa pemuda dan rakyat secara besar-besaran dalam program-program latihan semi militer. Tujuan utamanya sebenarnya adalah sebagai tenaga cadangan bagi kepentingan militer Jepang. Mobilisasi massa rakyat dalam Seinendan, Keibodan, Fujinkai, dan Pembela Tanah Air (Peta) telah mendorong rakyat memiliki keberanian, sikap mental untuk menentang penjajah, pemahaman terhadap kemerdekaan maupun sikap mental yang mengarah pada terbentuknya nasionalisme.

Selain propagandanya yang menarik, sikap Jepang pada mulanya menunjukkan kelunakan karena berbagai kepentingan. Tetapi hal ini tidak lama, karena Jendral
Imamura sebagai penguasa tertinggi (Gunsireikan kemudian Saiko Sikikan) Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Jawa mulai mengubah politik lunaknya dengan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 20 Maret 1942 yang berisi tentang larangan terhadap segala macam pembicaraan, pergerakan dan anjuran atau propaganda dan juga pengibaran sang Saka Merah Putih serta menyanyikan Lagu Indonesia Raya yang sudah diijinkan sebelumnya (Mudjanto, 1992). Dengan demikian praktis semua kegiatan politik dilarang. Dan tidak hanya berhenti disitu, pemerintah Jepang kemudian secara resmi membubarkan semua perkumpulan organisasi-organisasi politik yang ada dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru untuk kepentingan mobilisasi rakyat.

Sejak semula Islam tampak menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi rakyat. Pada akhir bulan Maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama (Shumubu). Pada bulan April 1942 usaha pertama untuk gerakan rakyat yaitu "Gerakan Tiga A" dimulai di Jawa yang dipimpin oleh Mr. Syamsuddin, seorang nasionalis yang kurang terkenal. Di dalam gerakan tersebut pada bulan Juli 1942 didirikan suatu sub seksi Islam yang dinamakan Persiapan Persatuan Umat Islam yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosoejoso.

Secara umum Gerakan Tiga A ini tidak berhasil mencapai tujuan-tujuannya dan dinilai kurang berguna. Para pejabat Indonesia hanya sedikit yang mendukungnya, tidak ada seorang nasionalis Indonesia terkemuka yang terlibat di dalamnya, dan sedikit orang Indonesia yang menanggapinya secara serius. Sejak itu pihak Jepang menyadari bahwa apabila mereka ingin memobilisasikan rakyat, maka mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis. Minat terhadap kerjasama dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka semakin besar setelah Jepang terpukul dalam pertempuran laut Karang 7 Mei 1942. Jepang harus memberi konsesi makin besar kepada bangsa Indonesia agar makin besar pula kesediaan bangsa Indonesia untuk memberikan kerjasamanya.
Awal tahun 1943 usaha kearah mobilisasi mulai memberi prioritas tinggi terhadap gerakan-gerakan pemuda. 

Korps Pemuda yang bersifat semi militer (Seinendan) dibentuk pada bulan April 1943. Korps ini mempunyai cabang-cabang sampai ke desa-desa, meskipun yang aktif terutama di daerah perkotaan. Kemudian disusul dengan pembentukan Korps Kewaspadaan (Keibodan) sebagai organisasi polisi, kebakaran, dan serangan udara pembantu. Demikian juga dibentuk Pasukan Pembantu (Heiho) sebagai bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Indonesia. 

Kemudian dibentuk Jawa Hokokai (kebangkitan Rakyat Jawa) pada 1 maret 1944. Pimpinan tertinggi adalah Gunseikan, sedang Ir. Sukarno manjabat sebagai Komon (penasehat). Jawa Hokokai merupakan hasil peleburan dari Fujinkai (perkumpulan Kaum Wanita), Masyumi (Majelis Sura Muslim Indonesia), Kakyo Sokai (Perhimpunan Cina); Taiku Kai (Perkumpulan Oleh Raga); Keimin Bunka Syidosyo (Himpunan Kebudayaan), dan sebagainya.

Propaganda Jepang dilancarkan terus; Misalnya Gerakan Tiga A: Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dibawah pimpinan Mr. Syamsudin. Semboyan: Jepang dan Indonesia sama-sama; Asia untuk bangsa Asia; kemakmuran bersama Asia Timur Raya dan sebagainya bertujuan menarik simpati rakyat Indonesia untuk membantu Jepang menyelesaikan perang Asia Timur Raya. Disamping itu pula dibentuk Pemuda Asia Raya dibawah pimpinan Sukarjo Wiryopranoto. Pemuda Asia Raya ini kemudian diganti namanya menjadi Seinendan, pada tanggal 29 April 1942. Organisasi ini bekerjasama dengan Putera dibawah pimpinan Empat Serangkai Indonesia. Pengerahan tenaga rakyat untuk kepentingan perang terus ditingkatkan. Untuk membantu polisi dibentuk Keibodan yang terdiri dari para pemuda yang belum termasuk Seinendan. Tenaga -tenaga laki-laki dari desa-desa dikerahkan untuk melakukan kerja paksa sebagai Romusha. Mereka bekerja untuk membangun
benteng, jalan, jembatan, gedung-gedungn pemerintahan, dan sebagainya. Mereka dipekerjakan di Jawa maupun di luar Jawa, bahkan sampai diluar Indonesia. Banyak di antara mereka yang mati kelaparan, kelelahan, penyakit, siksaan para mandor, dan sebagainya. Banyak diantaranya yang tidak kembali lagi kekampung asalnya. Selanjutnya kaum wanita digerakan dalam Fujinkai pada 3 Nopember 1943. Mereka ini dipekerjakan di garis belakang, di depur-dapur umum, Kesehatan (PPPK), dan sebagainya. Anak-anak sekolah dilatih olah raga perang Kinhorosi.
Dalam bidang kebudayaan, siasat Jepang untuk memainkan dan menanamkan kebudayaan Jepang di Indonesia, dilakukan bersama-sama dengan menggiatkan kebudayaan Indonesia untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Terutama seni sastra dan kesenian mendapatkan perhatian Khusus. Para ahli bahasa membentuk Komisi bahasa Indonesia dengan berusaha memperkaya perbendaharaan bahasa. Nama-nama 

kota dan jalan-jalan diganti dengan nama Indonesia sepanjang ada ijin dari pemerintah Jepang. Misalnya: Batavia diganti Jakarta; Buitenzoerg diganti dengan Bogor; Meeter Cornelis diganti Jatinegara; dan sebagainya. Nama-nama Jawatan diganti dengan bahasa Jepang. Maka nampaklah bahasa Jepang akan Me-Nippon-kan Indonesia. Lagu Kebangsaan Jepang kimigayo dinyayikan di samping lagu kebangsaan Indonesia: Indonesia Raya. Latihan-latihan diadakan untuk melatih pegawai di berbagai jawatan untuk menguisi Nipponseisin (semangat Jepang).

Sementara itu sejak 1943 golongan As (Jerman dkk) menderita kekalahan dimana-mana. Antara lain di Italia, Mussolini jatuh dan digantikan oleh Pietro Badoglio (26 Juli 1943). Di Jerman, Hitler jatuh pada 7 Mei 1945. Jepang mulai cemas terhadap serangan balasan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Rusia, Tiongkok, dan Australia) yang semakin gencar di Pasifik. Beberapa pangkalan Jepang di Jawa mulai dibom oleh Sekutu. Misalnmya Surabaya. 

Menghadapi itu semua, maka Jepang cepat-cepat memberikan kemerdekaannya kepada negara-negara yang telah direbutnya.: Birma (1 Agustus 1943), Pilipina (14 
Oktober 1943). Sedang kepada bangsa Indonesia diberi kesempatan untuk bersuara berupa usul-usul. Maka dibentuklah Tjiho Sangi Kai (semacam Dewan Daerah), Tjuo Sangi In (semacam Dewan Rakyat) dengan Ir. Sukarno sebagai Gitjo (ketua), dan RMAA Kusumoutoyo dan dr. Buntaran Martaatmaja sebagai Fuku Gitjo (wakil ketua). Tjuo sangi In dibuka pada 16 Oktober 1943 dan beranggotakan 43 orang. 

Kewajibannya memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Saiko Sikikan dan mengajukan usul-usul. Beberapa orang Indonesia diangkat menjadi Sjutjokan dan Fuku Sjutjokan.

Perang Pasifik semakin mendesak kekuatan Jepang. Untuk itu Jepang sangat membutuhkan bantuan dari daerah-daerah yang didudukinya. Maka berdasarkan keputusan sidang Parlemen ke-82 di Tokyo, yang dikemukakan oleh Perdana Menteri Tojo, perlu dibentuk berisan semi-militer dan militer di Indonesia. Psukan ini
kemudian dikenal dengan nama Tentera Sukarela Pembela Tanah Air (Peta) (Boei Giyugun). Pembentukan Peta ini mula-mula diusulkan oleh R. Gatot Mangkuprojo melalui suratnya yang ditunjukan kepada Gunseikan Pada 7 September 1943. Tanggal 3 Oktober 1943 Letnan Jendral Kumakici Harada mengeluarkan aturan pembentukan Peta itu. Beberapa orang Indonesia mulai dilatih kemiliteran. Dan Akhirnya tanggal 22 Nopember 1943 diresmikan pembentukan Peta itu.

Disamping Peta, juga penduduk diikutsertakan membantu perang. Tanggal 8 Januari 1944 diperkenalkan tonarigumi (rukun Tetangga). Tiap kelompok terdiri dari 10-20 rumah tangga. Beberapa Tonarigumi itu dilatih pencegahan terhadap bahaya udara, kebakaran, pembratantasan mata-mata musuh dan penyampaian iktisar pemerintah militer kepada penduduk, menganjurkan penambahan hasil bumi, dan berbakti kepada pemerintah militer di bidang lain.

Atas permintaan para pemimpin Indonesia, seperti R. Gatot Mangkupraja, KH Mas Mansyur, dan Ir. Sukarno, dibentuklah Tentera Pembela Tanah Air (Peta) pada 3 Oktober 1943 seperti tersebut diatas. Dalam waktu 6 bulan dilatihlah calon-calon daidantjo (kepala pasukan) dan Sjodantjo (kepala regu). Mereka ini kemudian melatih calon-calon perajurit-perajurit (Peta) di bawah pimpinan dan pengawasan opsir Jepang. Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela Indonesia. Tidak seperti Heiho, Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang, melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu. 

Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide nasionalisme Indonesia dimanfaatkan dalam penggemblengan para anggotanya. Disamping Peta, Jepang juga membentuk Heiho (Pembentu tentera). bila Peta bertugas membela daerahnya masing-masng, maka Heiho bertugas membantu Jepang apabila diperlukan. Untuk mempersatukan rakyat dibentuk Tonarigumi, Ku. Mereka ini dilatih dalam pencegahan bahaya udara, dan sebagainya.

Melalui Peta maupun Heiho tersebut, pemuda-pemuda Indonesia dilatih kemiliteran yang sangat berguna untuk menghadapi serangan-serangan Baelanda 
yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah Jepang menyerah pada sekutu.

Pada bulan Maret 1943 Gerakan Tiga A dihapuskan dan digantikan dengan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Badan ini berada dalam pengawasan ketat pihak Jepang, tetapi ketuanya diangkat dari orang-orang terkemuka Indonesia pada waktu itu, yaitu: Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansur. Dalam beberapa kesempatan tokoh-tokoh ini dapat memanfaatkan tugas-tugas mereka ketika keliling dan berpidato di depan massa. Kesempatan itu digunakan untuk menanamkan semangat nasionalisme kepada setiap pemuda dan orang Indonesia. Namun demikian, gerakan ini hanya mendapat sedikit dukungan dari rakyat. Salah satu sebabnya adalah karena Jepang tidak bersedia memberi kebebasan kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang potensial dan membatasi ruang gerak tokoh-tokoh utamanya.

Mengingat tahun 1944 pihak Sekutu mulai mendapatkan kemenangam-kemenangannya diberbagai medan pertempuran terhadap Jepang. Pada Pebruari 1944 Kepulauan Marshall dan Karolina dapat direbut Sekutu. Dalam situasi gawat ini, Jepang berusaha memperkuat garis belakang dengan membentuk satu organisasi besar yang didukung oleh seluruh rakyat Jawa. Dibentuklah Jawa Hokokai (Himpunan kebangkitan rakyat Jawa) pada 1 Maret 1944. sebagai ganti dari Putera. Soekarno sangat berhasil dalam memanfaatkan propaganda Jawa Hokokai ini untuk memperkokoh posisinya sebagai pemimpin utama kekuatan rakyat. Jawa Hokokai menjadi lebih efektif dikarenakan memiliki alat organisatoris yang menembus sampai ke desa-desa. Rukun Tetangga (Tonari Gumi) dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk yang terdiri dari sepuluh sampai duapuluh keluarga untuk tujuan mobilisasi.

Tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso Kuniaki menjanjikan kemerdekaan bagi "Hindia Timur" (T0-Indo). Akan tetapi, tidak menentukan kapan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia akan membalas janji tersebut dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan terima kasih. Bendera Indonesia boleh dikibarkan lagi di kantor-kantor Jawa Hokokai. Selain itu juga mulai dibentuk kelompok-kelompok pemuda dan militer baru, seperti Barisan Pelopor dan Barisan Hisbullah.

Awal tahun 1945 keadaan Jepang semakin kritis. Beberapa daerah pendudukannya telah dapat direbut Sekutu. Untuk meredakan hati rakyat yang mulai bergolak melakukan pemberontakan-pemberontakan, Jepang meningkatkan 
penerangan-penerangan bahwa kemerdekaan Indonesia akan di berikan di kemudian hari.

Sejak itu pula semakin banyak orang Indonesia yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan. Sejak bulan November 1944 orang-orang Indonesia mulai diangkat menjadi wakil residen. Para penasehat (sanyo) dihimpun ke dalam semacam majelis tinggi (Dewan Sanyo, Dewan Penasehat).

Pada bulan Februari 1945 Peta di Blitar menyerang gudang persenjataan Jepang dan membunuh beberapa serdadu Jepang. Jepang mulai merasa takut bahwa mungkin mereka tidak dapat mengendalikan kekuatan militer Indonesia yang telah mereka ciptakan sendiri. Perasaan takut itu menjadi semakin kuat ketika pada bulan 
Maret 1945 angkatan bersenjata serupa di Birma berbalik melawan mereka.

Sementara itu Pilipina dapat direbut Sekutu setelah terjadi pertempuran hebat di Semenanjung Leyte (1944) dan Luzon (1945). Kemudian Jepang di Asia Tanggara semakin teracam. Untuk menghadapi segala kemungkinan, maka Jepang membentuk Pasukan Berani mati (Jibaku-tai). Pemuda-pemuda dari Madiun dan Surabaya banyak
masuk menjadi anggota pasukan berani mati ini. Sedikit demi sedikit, pasukan Sekutu semakin mendekati Jepang Asli. Iwo Jima dapat direbut (16 Maret 1945), kemudian
Okonama (21 Mei 1945). Disamping itu kini Jepang berperang Sendirian, sebab sekutunya: Italia (1944) dan Jerman telah menyerah kepada Sekutu (7 Maret 1945).
Setelah Sekutu dapat menduduki Tarakan dan Balikpapan,

Jepang dalam Usaha memperolaeh dukungan sepenuhnaya dari rakyat Indonesia, membentuk Dokuritzu Zyoombi Tsooskai (Badan Penyelidik USaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia = BPUPKI) sebagai langkah awal dari janji kemerdekaan Indonesia dari Jepang. Tugas
ini ialah menyelidiki dan mengupulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk Indonesia merdeka. Badan ini didirikan pada 29 April 1945. Susunan pengurusnya terdiri dari
sebuah badan perundingan dan kantor tatausaha. Badan

Perundingan terdiri dari seorang Kaico (Ketua), 2 orang Fuku Kaico (Wakil Ketua), 60 orang Lin (Anggota),
termasuk 4 orang golongan Cina dan Golongan Arab serta seorang Golongan peranakan Belanda.
Dibadan tersebut terdapat 7 orang anggota Jepang. Mereka ini duduk sebagai pengurus Istimewa yang akan menghadiri sidang-sidang, tetapi mereka ini tidak
mempunyai hak suara. Sebagai Kaico adalah dr, KRMT Rajiman Wediodiningrat, sebagai Fuku Kaico pertama dijabat olah orang Jepang yakni Syucokan Cirebon dan
R. Surowo (Syucokan, Kedu) sebagai Fuku Kaico kedua. RP Surasa diangkat pula sebagai kepala Sekretariat Dokuritzu Zyoombi Tsoosakai dengan dibantu oleh Toyohiko Masuda dan Mr. AG Pringgodigdo.

Perubahan-perubahan Akibat Pendudukan Jepang

Pendudukan Jepang telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang mendasar pada masyarakat pedesaan Indonesia, khususnya di Jawa. Tekanan-tekanan yang bersifat politis terhadap lembaga-lembaga politik tradisional maupun lembaga politik legal telah menghancurkan tatanan sistem politik di pedesaan. Di samping itu pemerasan sumber daya ekonomi masyarakat pedesaan dilakukan secara intensif, bahkan diikuti
dengan pengawasan yang ketat dan pembentukan lembaga ekonomi baru di pedesaan.

Pengawasan sosial diberlakukan dengan pembentukan organisasi-organisasi sosial yang diarahkan untuk mengadakan kontrol terhadap aktivitas masyarakat, serta
tekanan-tekanan mental dan agitasi yang dilaksanakan pemerintah pendudukan Jepang secara terus menerus.Untuk memahami keadaan sosiologis masyarakat dalam perspektif historis secara lebih utuh, dijelaskan konfigurasi sosio-historis masyarakat pedesaan Jawa pada masa pendudukan Jepang dalam konteks perubahan sosial yang diakibatkan proses pendudukan itu. Berikut ini satu-persatu aspek perubahan tersebut akan dibahas.

Perubahan dalam Aspek Pemerintahan
Kedatangan balatentara Dai Nippon di Indonesia segera diikuti oleh perubahan-perubahan yang mendasar dalam sistem hukum. Hal itu dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan di bawah pendudukan Jepang, meskipun dalam hal ini Jepang terlihat untuk berupaya mempertahankan sistem yang sudah ada.

Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Balatentara dai Nippon mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 yang berisi antara lain hal-hal sebagai berikut:

Pasal 1 : Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer semen-tara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan yang sentausa dengan segera;

Pasal 2 : Pembesar Balatentara memegang kekuasaan militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu tetap di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda;

Pasal 3 : Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan militer;

Pasal 4 : Bahwa Balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia pada Jepang (Kan Po, Nomor Istimewa, 1942).

Undang-undang tersebut secara tegas menggariskan bahwa diberlakukannya pemerintahan militer untuk sementara waktu dan jabatan Gubernur Jenderal
dihapuskan dengan diganti oleh tentara Jepang di Jawa. Pemerintahan sipil dengan Undang-undang tersebut tetap dipertahankan untuk mencegah kekacauan. Perbedaannya ialah bahwa pimpinan dipegang oleh tentara Jepang, baik di pusat maupun di daerah. Namun demikian, pada tanggal 5 Agustus 1942 pemerintahan Jepang
mengeluarkan Undang-undang nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan
Tokubetu-Syi pada tanggal 7 Agustus 1942. Dengan dikeluarkannya Undang-undang tersebut maka berakhirlah pemerintahan yang bersifat sementara dan berlakulah pemerintahan pendudukan jepang di Indonesia. Dalam struktur pemerintah daerah
berdasarkan Undang-undang tersebut terdiri atas Syu, Syi, Ken, Gun, Son, dan Ku (Kan Po, Nomor 2, September 1942).

Perubahan-perubahan struktural telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam kehidupan politik, pemerintahan dan sikap masyarakat terhadap
lembaga politik. Dalam posisi sistem pemerintahan pendudukaan, rakyat hanyalah sebagai obyek politik dan segala kepentingan politik yang dibebankan kepadanya.
Dalam kalimat lain, pada saat itu masyarakat pedesaan merupakan obyek eksploitasi dan penetrasi demi kepentingan pemerintah pendudukan Jepang

Perubahan Sosial Ekonomi
Bentuk eksploitasi ekonomi yang berimplikasi terhadap perubahan sosial ekonomi secara mendasar pada masa pendudukan Jepang di Jawa ialah diberlakukannya politik
penyerahan padi secara paksa. Logika politik ekonomi ini didasarkan pada kebutuhan bahan pangan yang makin meningkat bagi tentara Jepang di front-front pertempuran. Selain itu akibat dari terputusnya komunikasi antara pemerintah Jepang dengan daerah-daerah Selatan sebagai akibat buruknya kondisi masa itu, telah menyebabkan
daerah-daerah harus mencukupi sendiri kebutuhan ekonominya. Sehingga Syu harus mampu mengelola kebutuhan ekonominya sendiri. Apalagi kenyataan bahwa antara permintaan dan target penyetoran padi tidak sebanding.

Di Karesidenan Kedu misalnya, dari bulan April 1943 sampai dengan bulan Maret 1944 dari target setoran
sebanyak 54.000 ton, ternyata hanya dapat dipenuhi 25.237 ton atau hanya sekitar 46,7 % dari target. Bahkan dari April sampai dengan September 1945 dari total target 80.000 ton, hanya dipenuhi 17.464 ton atau hanya sekitar 21,8 %. Selain disebabkan oleh target setoran yang tidak rasional, kemungkinan kedua adalah karena faktor produksinya. Pada tahun 1944 terjadi penurunan secara umum hasil panen sebanyak 20 % dibandingkan pada tahun 1937 dan tahun 1941.

Proses eksploitasi ekonomi tersebut terlihat akibatnya secara mendasar pada kehidupan masyarakat pedesaan. Padahal dipahami bahwa perilaku ekonomi yang
khas dari keluarga petani Jawa menurut James C. Scott (1989:4-20) ialah petani yang subsisten, yaitu ia sekaligus merupakan satu unit produksi dan konsumsi. Sehingga
masalah yang dihadapi oleh petani ialah bagaimana dapat menghasilkan beras untuk makan sekeluarga, untuk membeli barang kebutuhan dan untuk memenuhi tagihan-
tagihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak luar.

Implikasi dari penyerahan wajib tersebut ialah meningkatnya angka kematian dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat. Bahkan keadaan sosial serta tingkat kesejahteraan sosial yang sangat buruk sebagai akibat kelangkaan bahan pangan.

Angka kematian lebih tinggi dari angka kelahiran. Di Kudus misalnya angka kematian mencapai 45,0 perseribu (permil) sedangkan yang tertinggi adalah di Purworejo dan Wonosobo yang mencapai 42,7 dan 53,7 perseribu. Angka-angka tersebut telah menunjukkan kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk. Pola makan yang berubah, pola hidup yang bergeser serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang
menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologisnya.

Perubahan Mentalitas Masyarakat
Kerangka pendudukan Jepang di Jawa selain untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi, juga untuk menciptakan landasan pasok ekonomi yang penting untuk
kepentingan perang Asia Timur Raya. Untuk itu dalam rangka meningkatkan hasil produksi selain dilakukan melalui bidang produksi juga melalui peningkatan
infrastruktur sehingga hal itu memerlukan dukungan sumber daya manusia.

Jawa memiliki surplus tenaga kerja yang dapat digunakan sebagai sumber daya potensial dan merupakan sumber tenaga kerja yang penting di Asia Tenggara (Aiko Kurasawa, 1993:124). Oleh Ricklefs, dinyatakan bahwa Jawa merupakan daerah yang secara politis paling maju, yang sumber daya utamanya adalah manusia (Ricklefs,
1992:297). Dengan keadaan seperti itu masyarakat pedesaan Jawa merupakan sumber daya tenaga kerja yang banyak diambil untuk menangani proyek-proyek pembangunan fisik, seperti benteng-benteng pertahanan, lobang-lobang pertahanan, jembatan, pelabuhan maupun tempat-tempat penyimpanan bahan makanan. Tenaga kerja secara paksa (romusha) itu dipekerjakan seperti di Banten, Jakarta, Surabaya, Singapura, Philipina, Siam, dan Birma.

Perlakuan yang tidak manusiawi dari tentara Jepang terhadap romusha serta ketiadaan jaminan sosial serta kesejahteraan menyebabkan beribu-ribu romusha meninggal dengan mengenaskan dan tak kembali. Keadaan yang sangat buruk itu menghantui masyarakat desa yang harus juga mengirimkan penduduknya untuk
berangkat menjadi romusha. Sehingga berkembang menjadi ketakutan kolektif dan kegelisahan komunal.
Masyarakat desa tidak berani untuk menentang perintah tentara Jepang di satu sisi namun tidak menginginkan berangkat sebagai tenaga paksa Jepang. Akhirnya terjadi kekerdilan mental sebagai akibat penetrasi politik yang sangat keras. Tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial maupun kultural saat itu telah menciptakan kondisi
masyarakat pedesaan yang diliputi kecemasan dan ketakutan.

Praktek-praktek romusha merupakan bentuk yang sangat nyata dari praktek eksploitasi tenaga kerja dan manusia pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Hal
itu sekaligus merupakan suatu bentuk pemiskinan mentalitas masyarakat Indonesia. Dengan demikian telah terjadi perubahan mentalitas masyarakat di Indonesia yang sangat mendasar pada masa pendudukan Jepang sebagai akibat penetrasi dan sistem pendudukan yang bersifat militer tersebut.

Barangkali tidak ada yang dapat diambil keuntungan dari kasus-kasus romushabagi masyarakat pedesaan Jawa waktu itu. Secara kongkrit tampak adalah proses
penetrasi dan eksploitasi sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja. Dengan kondisi
seperti itu dapat dipahami seberapa tinggi kualitas sumberdaya manusia pedesaan
Jawa waktu itu.





No comments:

Post a Comment